APLI: Digital Platform is A Must
29 Aug 2022 16:27
Jakarta, Portonews.com. Multi Level Marketing (MLM) atau direct selling masuk dalam kategori industri yang berisiko tinggi. Pasalnya banyak sekali manipulator yang memanfaatkan model bisnis ini untuk mengumpulkan dana masyarakat secara ilegal. Dengan berbagai skema, baik money game, piramid, maupun ponzi yang berkedok MLM. Tak pelak, industri ini seringkali disalahartikan atau dicap sebagai bisnis yang menjual mimpi.
Untuk itu, Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) bertekad senantiasa mengawal industri ini. Industri MLM ternyata mampu mendongkrak perekonomian negara dengan cukup signifikan, sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) didominasi oleh konsumsi rumah tangga.
Data dari Kementerian Perdagangan di Q1 2021 saja mencatat sebanyak 0,26% dari konsumsi rumah tangga yang totalnya mencapai Rp1.468,8 triliun. Jika dihitung Rp3,8 triliun rata-rata kontribusi industri penjualan langsung untuk ekonomi negara. Kontribusi ini tentu akan lebih besar lagi jika situasi perekonomian sudah kembali normal juga ditopang perubahan perilaku konsumen yang sudah beralih ke digital platform.
Ketua Umum APLI, Kany V. Soemantoro kepada PORTONEWS mengatakan secara alamiah industri direct selling merupakan social commerce yang sekarang sudah jadi kebiasaan baru masyarakat dalam berbisnis dan memanfaatkan teknologi.
“Direct selling adalah social commerce yang tadinya dibentuk atau dijalankan bukan dari digital. Jika sekarang orang meributkan e-commerce, maka direct selling sudah lebih dulu membuka peluang untuk mendapatkan bisnis dan produk secepat menjetikan tangan, sebab basic bisnis kami mengandalkan komunitas yang besar,” papar Kany.
Kany tidak keliru, Kementerian Perdagangan merilis data yang menerangkan di industri ini, sebanyak 8,4 juta mitra usaha yang terlibat, serta berkontribusi dari total 6,41% orang yang bekerja, bila dikalkulasikan ada sebanyak 131 juta orang yang pernah bersentuhan atau menjadi pelaku di industri penjualan langsung.
Di masa pandemi, perusahaan yang basisnya retail perlahan membuka saluran untuk direct selling. Itu yang menjadi dasar keyakinannya. “Awal tahun 2020 banyak toko dan mal yang ditutup dan mereka belum siap beralih ke online chain, sementara banyak perusahaan direct selling ketika diblok sudah siap dengan digital platform yang dimiliki,” jelasnya.
Kany yang menjabat Ketua Umum APLI untuk periode pertamanya ini optimis perkembangan industri MLM akan terus tumbuh rata-rata 5% setiap tahunnya.
Untuk membesar volume perdagangan, lanjutnya, APLI beserta 108 perusahaan yang menjadi anggotanya siap berkolaborasi dengan digital platform atau marketplace yang sudah established seperti Tokopedia atau Shopee melalui sistem official store yang dirancang dengan masing-masing marketplace.
Namun saat ini secara aturan, produk-produk MLM merupakan produk ekslusif yang dijual hanya melalui mitra usaha. Ada kondisi di mana produk MLM tidak boleh dijual secara retail dan terbuka.
“Pemerintah sangat strict dengan aturan marketplace, kita ingin kolaborasi untuk digital platform seperti Tokopedia atau Shopee salah satuny memakai white label artinya platform mereka untuk brand kita. Kita sedang diskusi dan kaji lagi tentang itu, karena digitalisasi adalah keniscayaan,” terang pria lulusan Baldwin Wallace College, Ohio, Amerika, dengan gelar MBA ini.
Sementara untuk urusan regulasi diserahkan kepada Ina Rachman selaku Sekretaris Jenderal APLI. Ina mengungkapkan sedang menggodok aturan main yang jelas bagaimana nanti kolaborasi dengan marketplace itu diimplementasikan. Sebab, menurutnya, ada regulasi turunan dari undang-undang Cipta Kerja yang melarang produk direct selling dijual ke marketplace.
“Marketplace ini menjadi hot issue karena sangat merugikan perusahaan APLI. Untuk itu kita atau anggota-anggota APLI sudah diundang komisi VI DPR RI untuk melakukan dengar pendapat, sebab aktivitas penjualan produk MLM di marketplace itu bertentangan dengan Pasal 48, PP 29 tahun 2021,” ungkap Ina.
Dari Rapat Dengar Pendapat Umum dengan DPR salah satu wacana yang mengemuka adalah kolaborasi melalui model B2B (business to business) antara perusahaan direct selling dan digital platform. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan mampu sepenuhnya mengatur harga, juga pihak e-commerce dapat dengan mudah memfilter produk yang dijual di luar ketentuan perusahaan.
Kany yang juga menjabat Presiden Nu Skin Indonesia, Filipina, Malaysia dan Brunei. ini mengaku sudah mencoba pilot project yang serupa di Thailand, menurutnya kolaborasi perusahaan lokal yang tidak punya fasilitas digital akan sangat menguntungkan.
“Sebagai contoh Nu Skin yang sudah tercantum sebagai official store di Shopee, konsekuensinya segala sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan kami jadi hanya kami saja yang punya.”
Semua yang diupayakan Kany tidak lepas dari tanggungjawabnya sebagai Ketua Umum Asosiasi dengan segala dinamikanya. Kany mengaku amat optimis industri ini prospektif, akan jauh lebih besar lagi memberi manfaat kepada masyarakat. Sesuai tagline yang diusungnya, ‘Prosper The Nation’, atau memakmurkan bangsa. Adv
Sumber : https://www.portonews.com/2021/keuangan-dan-portfo...